Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/03/2024, 13:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

NUSANTARA, KOMPAS.com - Cara-cara mengancam warga, terlebih masyarakat hukum adat yang sudah tinggal lama di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur demi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah tindak pelecehan.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menegaskan hal itu dalam pernyataannya kepada Kompas.com, Jumat (15/3/2024).

Oleh karena itu, Amnesty Internasional Indonesia mendesak pemerintah untuk segera menghentikan langkah yang mengancam hak atas tempat tinggal masyarakat Sepaku dan warga adat demi membangun IKN dan membuka ruang konsultasi secara bermakna.

Baca juga: Amnesty Internasional: Jangan Gusur Warga dari IKN

Usman menanggapi beredarnya surat Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) kepada 200 warga agar membongkar bangunan mereka di lokasi pembangunan IKN.

Menurutnya, surat yang dikeluarkan OIKN pada 4 Maret 2024 bernomor 179/DPP/OIKN/III/2024 terkait undangan kehadiran untuk menindaklanjuti pelanggaran pembangunan yang tidak berizin dan tidak sesuai dengan Tata Ruang IKN, tak hanya melecehkan hak masyarakat Sepaku.

Surat itu dan Surat Teguran Pertama Nomor 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, yang memberi waktu 7x24 jam pada hari kerja bagi warga untuk merobohkan bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan, juga melecehkan hak masyarakat hukum adat suku Balik yang terancam kehilangan tempat tinggal.

"Langkah ini melanggar hak konstitusional warga dan hak atas tanah masyarakat hukum adat yang diakui secara internasional," cetus Usman.

Baca juga: Terkait Penertiban Bangunan, Otorita Jamin Tidak Ada Rempang Kedua di IKN

Dia pun mempertanyakan janji Pemerintah untuk membangun IKN tanpa penggusuran. Kedua surat itu semakin menandakan sempitnya ruang partisipasi masyarakat Sepaku dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan dan tempat tinggal mereka.

“Memaksa mereka untuk meninggalkan tanah leluhur atau tanah yang sudah sejak lama didiami, memperlihatkan tindakan yang melanggar prinsip keadilan sosial dan absennya konsultasi bermakna," tutur Usman.

Dia menegaskan, masyarakat Sepaku berhak menentukan masa depan tempat tinggal mereka. Hak-hak warga harus dilindungi dan negara harus memastikan bahwa mereka tidak lagi menjadi korban dari kebijakan yang merugikan dan diskriminatif.

Tidak menggusur semena-mena

Sumber kredibel Amnesty Internasional Indonesia di Jaringan Advokasi Tambang Kalimatan Timur (Jatam Kaltim), sebuah jejaring organisasi non-pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia, lingkungan, dan masyarakat adat mengungkapkan, sekitar 200 warga empat desa di Kecamatan Sepaku, diminta untuk merobohkan bangunan mereka.

Baca juga: Amnesty Internasional: Jangan Gusur Warga dari IKN

Alasannya, bangunan-bangunan tersebut dinilai tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Ibu Kota Nusantara (IKN).

Warga yang terdiri dari masyarakat hukum adat, warga yang sudah lama tinggal maupun pendatang, diberi batas waktu tujuh hari sejak menerima teguran pertama.

Hal itu terungkap dalam dua lembar surat berkop OIKN tertanggal 4 Maret 2024 kepada para warga Sepaku yang tersebar di empat desa di Sukaraja, Bukit Raya, Pemaluan, dan Bumi Harapan.

Lembar pertama surat OIKN itu bernomor 179/DPP/OIKN/III/2024 terkait undangan kehadiran untuk menindaklanjuti pelanggaran pembangunan yang tidak berijin dan tidak sesuai dengan Tata Ruang IKN.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com